Social Icons

Seputar Wisata

Senin, 09 November 2015

Belajar dari seorang Teguh Kinarto,( transformasi sang tukang kredit keliling )


DI JAGAT PROPERTI nasional, Teguh Kinarto bukanlah nama yang asing. Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Jatim ini dikenal sebagai salah satu pemain besar di industri properti tanah air. Teguh, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP REI, juga dikenal sebagai "Raja RSh" seiring kiprah dan komitmennya membangun perumahan murah dan berkelas untuk rakyat dengan skala menengah ke bawah.
Nama Teguh di dunia properti berkibar lewat Grup Podo Joyo Masyhur. Lewat tangan dingin dan keuletannya, puluhan ribu rumah telah terbangun di hampir semua kota/kabupaten di seluruh Jatim. Kiprah Teguh di industri properti tak hanya sebatas di Jatim, tapi juga telah merambah wilayah ibukota.
"Bagi saya, rumah adalah tempat bersemainya harapan seorang manusia. Semua hal baik diawali dari rumah. Jiwa yang tenang dirintis dari sebuah rumah. Karena itu, bagi saya, membangun rumah juga berarti membangun harapan. Saya ingin semua orang bisa memiliki rumah dengan harga terjangkau namun tetap berkelas agar mereka bisa membangun hidup yang lebih berkualitas," ujar Teguh.
Salah satu milestone penting dalam sejarah karir bisnis Teguh adalah proyek pembangunan rumah sederhana di 22 kota/kabupaten sekaligus di Jatim yang diresmikan pada 1997 oleh Gubernur Jatim saat itu, Basofi Soedirman. Lewat proyek itu, perusahaan Teguh bisa membangun 8.000 rumah dalam jangka waktu satu tahun.
Pria kelahiran Surabaya, 2 April 1952, ini sebenarnya memulai karir bisnisnya bukan dari bidang properti. Teguh justru merintis karir bisnisnya pada 1970 dari penjualan kain setelah dipercaya untuk mengelola toko kain milik orang tuanya, Podo Joyo di Jalan Pasar Besar No 87 Malang.
Jiwa bisnis Teguh sudah benar-benar menonjol saat itu. Model bisnis toko kain yang semula hanya menunggu datangnya pembeli disulap Teguh menjadi lebih responsif dalam menjaring pasar. Teguh pun jemput bola dengan mendatangi rumah-rumah penduduk untuk menawarkan kain. Teguh juga menawarkan kain jualannya ke PNS dan anggota tentara.
Untuk memudahkan pembeli, Teguh muda memakai sistem pembelian kredit. Sehingga, para pembelinya yang memiliki dana tunai terbatas lebih mudah untuk memiliki kain yang diminatinya. Bisnis kain dengan model kredit ini ternyata sukses besar.
Teguh pun mulai merambah barang-barang lainnya. Pria yang aktif di berbagai kegiatan sosial-keagamaan ini pun mulai mengkreditkan berbagai barang kebutuhan konsumennya, mulai dari petromaks, mesin jahit, hingga sepeda. Jualannya laris-manis.
Stok di toko kainnya tak pernah menumpuk, karena barang cepat ludes saat ditawarkan langsung ke kantor atau rumah warga. Saat itu Teguh melayani pembelian kredit di hampir 300 koperasi dan instansi. Dari hasil bisnis kredit keliling itu, Teguh bisa membeli mobil Holden 1964 dengan harga Rp1,2 juta.
"Saya keliling Malang dengan motor Honda CB-100. Saya tawarkan kredit kain ke orang-orang sekaligus menagihnya secara rutin. Orang senang karena bisa mencicil. Selama ini mereka kan ingin barang itu, namun masih ragu karena dananya terbatas. Kalau sistem kredit kan bisa dicicil bulanan lewat potong gaji," cerita Teguh.
Namun, bisnis kredit keliling Teguh perlahan mulai surut setelah kantor dan instansi pemerintahan melarang para pegawainya untuk membeli barang dengan cara kredit atau sistem potong gaji bulanan. Saat itu tahun 1978. Teguh mulai galau. Namun, justru dalam kondisi terpuruk itulah, jiwa bisnisnya kembali terasa menonjol.
Teguh pun beralih ke bisnis properti dengan mendirikan CV Podo Joyo, yang akhirnya kini kita kenal dengan PT Podo Joyo Masyhur. Berhasil untung di proyek pertama, Teguh limbung di proyek kedua dan ketiga. Namun, Teguh muda tak patah arang. Pada 1984, lewat pertemanannya yang akrab dengan mantan Gubernur Jatim Basofi Soedirman (yang saat itu masih bertugas di Malang), Teguh berhasil membangun tiga kompleks perumahan tentara di Lawang (Malang), Pasuruan, dan Jember. Bisa dikatakan, proyek perumahan tentara itu adalah tapal terpenting dalam karir Teguh. Dari proyek itu, perusahaan properti Teguh kian membesar.
Setelah proyek di tiga lokasi yang sukses besar itu, Teguh kian dipercaya sebagai pengembang perumahan di berbagai kota/kabupaten di Jatim, khususnya untuk hunian sederhana. Pada periode itu hingga 1998, kelompok usaha Teguh berhasil membangun setidaknya 7.000 unit rumah dalam setahun. Proyek Podo Joyo laku keras bak kacang goreng.
Jatuh-bangun
Namun, lagi-lagi hidup menunjukkan akan selalu ada duri yang melintang di tengah jalan. Saat krisis moneter 1998 mendera Indonesia, bisnis properti bergelimpungan, termasuk bisnis yang dimiliki Teguh. Saat itu harga aset-aset properti terjun bebas. Rumah seharga Rp 1 miliar, misalnya, bisa turun di harga Rp 300 juta. "Bisnis properti hancur tak karuan. Banyak teman-teman yang bingung dan memilih wait and see saja. Tak ada proyek baru, semua pengusaha properti memilih untuk tiarap," ungkap mantan Ketua REI Korwil Malang tersebut.
Strategi bisnis Teguh benar-benar diuji saat itu. Kantor Podo Joyo di BII Tower, Jalan Pemuda Surabaya, dipindahkan ke rumahnya di Jalan Kertajaya Surabaya. Akhirnya, perabot dan perlatan kantor pun berpindah ke rumah pribadi Teguh. Langkah itu diambil untuk menghemat biaya mengingat sewa kantor di BII Tower tak murah, mencapai Rp 120 juta per bulan.
Saat-saat krisis itu, praktis Teguh hanya mengandalkan proyek pembangunan perumahan untuk tentara. Proyek rumah-rumah prajurit itu, yang bisa mencapai 1.000 unit per tahun, bisa dikatakan sebagai penyambung nafas kehidupan bisnis Teguh. Lagi-lagi hal itu menunjukkan kejelian strategi bisnis Teguh di dunia properti. Di saat developer lain limbung dan mengalami kesulitan likuiditas karena hanya mengandalkan proyek-proyek perumahan berskala besar, Teguh bisa tetap bertahan.
Bagi Teguh, memang lebih aman jika perusahaannya mengerjakan proyek-proyek kecil dan ritel di banyak lokasi daripada menggarap proyek berskala besar di hanya satu atau dua lokasi. Meski lebih rumit, dengan punya banyak proyek kecil di berbagai lokasi, Teguh bisa mengantisipasi jika ada satu atau dua proyek yang gagal.


Untuk kesekian kalinya, strategi bisnis yang jitu berhasil membuat Teguh bangkit dan kembali berlari kencang. Kini, Teguh tak hanya raja perumahan kelas sederhana. Pascakrisis 1998, mantan Ketua DPD REI Jatim ini mulai membangun proyek perumahan kelas menengah ke atas di sejumlah kota, mulai dari Surabaya, Sidoarjo, Malang, hingga Jakarta. Rumah kelas menengah ke atas yang dibangunnya dipasarkan mulai harga Rp280 juta hingga miliaran rupiah per unit. Pelan tapi pasti Teguh juga mulai merambah proyek properti komersial. kbc3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates